Untuk
menerapkan nama-nama ilmiah secara tepat, kita harus menguasai
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT yang susunan maupun isinya
menggunakan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami oleh ilmuwan pada umumnya.
Isi KITT yang disusun dengan menggunakan bahasa yuris seperti buku
undang-undang, membuat ahli taksonomi kurang berminat untuk mencermati isinya.
Penerapan KITT
tidaklah sesederhana yang kita kira. Dalam penggunaan nama ilmiah sering
terjadi kekisruhan-kekisruhan seperti dalam pemakaian nama-nama biasa.
Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT dapat mengalami perubahan, atau
tidak berlaku lagi sebagai akibat ususl-usul perubahan, penyempurnaan,
penghapusan dan lain-lain dari para ahli Muktamar Botani Internasional.
Sehingga setelah selesai suatu muktamar, biasanya akan terbit edisi KITT
terbaru. Ini menunjukkan, bahwa siapapun yang melibatkan diri dengan kegiatan
taksonomi tumbuhan, harus selalu mengikuti perkembangan, agar terhindar dari
kemungkinan-kemungkinan ketentuan-ketentuan yang telah berubah atau yang tidak
berlaku lagi.
Sampai pada
umurnya yang hampir ¼ abad ini peraturan tentang tatanama tumbuhan telah
mengalami bermacam-macan ujian dan cobaan, namun tampaknya segala ujian dan
cobaan telah di lalui dengan gemilang, sehingga kedudukannya menjadi semakin
kokoh dan isinya boleh dianggap sebagai aturan main bagi siapapun yang ingin
mendalami taksonomi tumbuhan.
Ujian-ujian dan
cobaan-cobaan yang cukup berat telah harus dihadapi oleh Kode Paris sebelum
mencapai usia 10 tahun terhitung dari kelahirannya pada tahun 1967. Dalam waktu
yang relative singkat segera diketahui bahwa Kode Paris mengandung banyak
sekali kekurangan-kekurangan, dan sebagai akibatnya untuk hal yang dalam Kode
Paris belum ada ketentuannya para ahli taksonomi memberikan interpretasinya
sendiri-sendiri dan mulai muncul ketentuan-ketentuan yang bukan atau belum
merupakan kesepakatan internasional.
Isi KITT
Dalam bentuknya
sebagai hasil Muktamar Sydney tahun 1981, Kode Internasianal Tatanama Tumbuhan
yang diterbitkan dalm tiga bahasa: Inggris, Perancis, dan Jerman pada tahun
1983, memuat bagian-bagian penting berikut:
a. Mukadimah
b. Bagian I Asas-asas
c. Bagian II Peraturan dan
Saran-saran yang terdiri atas 75 pasal, terbagi dalam 6 bab, dengan
masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa seksi
d. Bagian III
Ketentuan-ketentuan untuk mengubah kode
e. Lampiran I Nama-nama hibrida
f. Lampiran II Nama-nama suku
yang dilestarikan
g. Lampiran III Nama-nama marga
yang dilestarikan dan ditolak
h. Lampiran IV Nama-nama yang
bagaimaapun ditolak
A. Mukadimah
Mukadimah KITT memuat sepuluh
butir yang penting , yaitu:
1. Pembenaran, bahwa ilmu
tumbuhan memerlukan system tatanama yang sederhana namun tepat, yang digunakan
oleh semua ahli ilmu tumbuhan di seluruh dunia.
2. Asas-asas yang seluruhnya
hanya berjumlah enam merupakan dasar atau pangkal tolak system tatanam
tumbuhan, yang selanjutnya dijabarkan kedalam peraturan-peraturan dan
saran-saran atau rekomedasi yang lebih terinci,
3. Ketentuan-ketentuan yang
terinci dibagi dalam peraturan-peraturan yang harus ditaati, dan saran-saran
yang seyogyanya diikiuti demi keseragaman yang lebih luas, da tidak menjadi
contoh yang tidak selayaknya untuk di tiru.
4. Sasaran yang ingin dicapai
dengan penyusunan peraturan-peraturan tatanama tumbuhan adalah untuk penertiban
tatanama di masa lampau dan penyediaan system tatanama untuk masa mendatang.
5. Sasaran yang ingin dicapai
dengan pemberian saran- saran atau rekomendasi adalah keseragaman yang lebih
luas serta kejelasan yang lebih terang, terutama untuk masa mendatang.
6. Ketentuan untuk mengubah kode
tatanama tumbuhan merupakan bagian terakhir kode ini.
7. Peraturan –peraturan dan
saran-saran berlaku untuk semua makhluk yang diperlakukan sebagai tumbuhan (
termasuk jamur, tetapi bakteri tidak), baik yang telah bersifat fosil maupun
yang sekarang masih hidup.
8. Dalam butir ini dinyatakan,
bahwa satu-satunya alasan yang tepat untuk mengubah suatu nama adalah atau
adanya studi yang lebih mendalam yang menghasilkan data yang membenarkan
pengubahan suatu nama, karena identifikasi sebelumnya dipandang tidak tepat
lagi, atau karena nama yang bersangkutan ternyata bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku.
9. Butir ini menyatakan bahwa
dalam hal tidak adanya peraturan yang relevan, atau dalam hal yang hasilnya
akan meragukan bila suatu peraturan diterapkan, maka kelaziman lah yang harus
diikuti .
10. Butir terakhir mukadimah
KITT menyatakan, bahwa dengan diterbitkannya edisi terbaru, otomatis semua
edisi sebelumnya tidak berlaku lagi.
B. Bagian I Asas-asas Tatanama
Tumbuhan
Asas I
Tatanama tumbuhan dan tatanama
hewan berdiri sendiri-sendiri. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan berlaku
sama bagi nama-nama takson yang sejak semua diperlakukan sebagai tumbuhan atau
tidak.
Kalimat pertama menunjukkan
bahwa peraturan nama ilmiah hewan dan tumbuhan itu berbeda. Misalnya istilah
“phylum” untuk suatu kategori dalam klasifikasi hewan yang dalam klasifikasi
tumbuhan disebut “division”. Kalimat kedua menunjukkan bahwa bila organism itu
dianggap hewan, maka nama organism itu harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
ada dalam Kode Internasional Tatanama Hewan, sebaliknya, bila organism
diperlakukan sebagai tumbuhan, maka namanya harus tunduk pada KITT.
Asas II
Penerapan nama-nama takson
ditentukan dengan perantaraan tipe tatanamanya .
Yang dimaksud dengan tipe
tatanama adalah unsure suatu takson yang dikaitkan secara permanen dengan nama
yang diberikan kepada takson itu.
Asas III
Tatanama takson didasarkan atas
perioritas publikasinya.
Bila suatu takson mempunyai
lebih dari satu nama, maka nama yang dipublikasikan lebih dululah yang berlaku.
Tentu saja dalam hal ini pemberian nama telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Asas IV
Setiap takson dengan sirkum
skripsi, dan tingkat tertentu hanya dapat mempunyai satu nama yang benar, yaitu
nama tertua yang sesuai dengan peraturan, kecuali dalam hal-hal yang dinyatakan
secara khusus.
Bila ditekankan pada hanya dapat
mempunyai satu nama yang benar, maka adanya sinonima merupakan suatu hal yang
tidak dimungkinkan, namun dinyatakan pula bahwa hal itu ada pengecualiannya.
Seperti beberapa nama suku yang secara eksplisit dinyatakan, bahwa suku-suku
tadi mempunyai nama alternative. Nama-nama suku Gramineae, Palmae,
Umbelliferae, Compositae misalnya, berturut-turut boleh diganti dengan Poaceae,
Arecaceae, Apiaceae, dan Asteraceae.
Asas V
Nama-nama ilmiah diperlakukan
sebagai bahasa latin tanpa memperhatikan asal nya.
Nama ilmiah adalah nama yang
terdiri atas kata-kata yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, dan tidak tepat
bila nama ilmiah disamakan dengan nama latin.
Asas VI
Peraturan tatanama berlaku surut
kecuali bila dibatasi dengan sengaja.
Peraturan tatanama tumbuhan
lahir pada tahun 1867 yang diawali oleh Muktamar Botani Internasional I di
Paris. Namun demikian ketentuan-ketentuan yang termuat di dalamnya dinyatakan
berlaku sejak lebih seabad sebelumnya, yaitu dinyatakan berlaku per 1 Mei 1753,
jadi peraturan tatanama tumbuhan itu berlaku surut.
C. Bagian II Peraturan-peraturan
dan Saran-saran (rekomendasi)
Bab I . Tingkat-tingkat takson
dan istilah-istilah untuk menyebutnya
Bab ini terdiri atas lima pasal.
Pasal satu sampai lima yang memuat butir-butir utama sebagai berikut.
1. Bahwa dalam taksonomi tumbuhan,
setiap kelompok taksonomi dari kategori yang manapun disebut suatu takson.
2. Bahwa dari sederetan takson
yang bertingkat-tingkat itu yang dijadikan unit dasar adalah kategori jenis.
3. Bahwa tingkat-tingkat takson
(kategori) yang pokok berturut-turut dari bawah ke atas disebut dengan istilah
jenis (spesies), marga (genus), suku (familia), bangsa (ordo), kelas (classis),
dan divisi (division).
4. Bahwa bila dikehendaki jumlah
tingkat takson yang lebih banyak dapat ditambahkan atau diantara takson-takson
lama disisipkan takson-takson baru, asal hal itu tidak akan berakibat
terjadinya kekeliruan atau kekacauan. Untuk sederetan tingkat takson yang telah
mendapat kesepakatan internasional dari yang besar ke yang kecil disebut dengan
istilah-istilah dunia (regnum), anak dunia (sub regnum), divisi (division),
kelas (classis), anak kelas (sub classis), bangsa (ordo), anak bangsa (sub
ordo), suku (familia), anak suku (sub familia), rumpun (tribus), anak rumpun
(sub tribus), marga (genus), anak marga (sub genus), seksi (sectio), anak seksi
(sub section), seri (series), anak seri (sub series), jenis (spesies), anak
jenis (sub spesies), varitas (varietas), anak varitas (sub varietas), forma
(forma), anak forma (sub forma).
5. Bahwa urutan-urutan
tingkat-tingkat takson (kategori) itu tidak boleh di ubah.
Ketentuan umum untuk
nama-nama takson
Bab ini terbagi dalam empat
seksi yang seluruhnya memuat 10 pasal (pasal 6 sampai dengan 15).
Seksi pertama yang berjudul
“definisi-definisi” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 6 dan isi yang
penting pasal ini antara lain adalah definisi-definisi untuk:
1. Publikasi yang mangkus
(efektif), yaitu publikasi yang sesuai dengan persyaratan seperti tersebut
dalam Pasal 29-31.
2. Publikasi yang sahih
(berlaku), bila memenuhi persyaratan seperti tersebut dalam Pasal-pasal 32-45.
Dalam seksi ini selanjutnya juga
diberikan definisi-definisi untuk berbagai nama dengan sebutan tertentu, antar
lain:
a. Nama sah (legitimate), bila
sesuai dengan bunyinya peraturan dan tidak sah (illegitimate) bila bertentangan
dengan bunyinya peraturan.
b. Nama yang benar (correct),
merupakan nama sah yang tertera publikasi, kecuali untuk nama-nama tertentu
yang dinyatakan sebagai perkecualian terhadap ketentuan itu.
c. Nama kombinasi, adalah nama-nama
takson di bawah tingkat marga (jenis, anak jenis, varietas, dst) yang terdiri
atas nama marga digabung dengan nama sebutan (epitheton) yang berjumlah satu
sehingga membentuk kombinasi ganda. Seperti pada nama jenis Hibiscus
sabdariffa, yang terdiri atas nama marga Hibiscus digabung dengan sebutan jenis
sabdariffa.
d. Autonima atau nama automatis,
yaitu nama yang harus berbentuk tertentu, sesuai dengan bunyinya ketentuan.
e. Sinonima, dua nama atau lebih
untuk suatu takson, misalnya Gramineae=Poaceae, Compositae=Asteraceae untuk
nama-nama suku.
f. Basionima, yaitu nama dasr
yang dijadikan pangkal tolak dalam pemberian nama kepada suatu takson tertentu,
misalnya pemberian nama suatu jenis yang mengalami perubahan status, yaitu
dipindah ke lain marga, sehingga namanya harus berubah. Sebagai contoh adalah
Pseudodatura arborea yang dipindahkan ke marga Brugmansia yang namanya berubah
menjadi Brugmansia arborea. Dalam contoh ini Pseudodatura arborea merupakan
basionimanya Brugmansia arborea.
g. Homonima, yaitu suatu nama
yang digunakan untuk dua takson yang berbeda. Nama Setaria misalnya oleh
Acharius digunakan untuk nama marga lumut kerak, tetapi Palisot de Beauvais
menggunakan nama Setaria untuk marga rumput. Ini merupakan contoh homonima,
yang sesuai dengan asas prioritas nama Setaria untuk marga rumput itu harus
diganti karena Setaria sudah lebih digunakan untuk nama lumut kerak.
h. Tautonima, yaitu nama jenis
yang nama marga dan sebutan jenisnya terdiri atas kata-kata yang persis sama
atau hampir sama, misalnya Linaria linaria, Boldu boldus. Berbeda dalam
taksonomi hewan, dalam taksonomi tumbuhan tautonima merupakan nama yang tidak
sah, jadi tidak boleh digunakan.
i. Nama telanjang (nomen nudum),
nama yang diberikan tanpa disertai candra atau diagnosis dalam bahasa Latin yag
sesuai dengan ketentuan. Seperti tautonima, nomen nudum juga merupakan nama
yang tidak sah.
j. Nama yang meragukan (nomen
ambiguum), adalah nama yang oleh penciptanya tidak secara eksplisit dinyatakan
sebagai nama suatu takson tertentu, sehingga meragukan, apakah kata-kata yang
dipakai itu benar-benar dimaksud sebagai nama takson atau bukan.
k. Nama-nama yang dilestarikan
(nomen conservandum), nama yang dipertahankan untuk terus dipakai, walaupun
nama itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1. Nama-nama marga yag
dilestarikan (nomina generic conservanda)
2. Nama-nama suku yang
dilestarikan (nomina familiarum conservanda)
l. Nama-nama yang ditolak (nomen
rejiciendum), nama-nam yang secara luas dan terus dipakai untuk takson yang tidak
mencakup tipe-tipe tatanamanya.
Seksi II memuat masalah
“tipifikasi”, terdiri atas 4 pasal (pasal 7-10), memuat antara lain:
1. Penerapan nama-nama takson
tingkat suku ke bawah harus didasarkan atas tipe tatanamanya.
2. Tipe tatanama adalah unsure suatu
takson yang padanya melekat secara permanen nama dan candra takson yang
bersangkutan, dan bahwa tiep tatanama tidak harus merupakan wakil takson tadi
yang dianggap paling tipikal.
3. Specimen atau unsure lain
yang dipilih sebagai tipe tatanama disebut holotipe.
4. Bila seorang ahli member nama
dan mencandra suatu takson tidak menentukan holotipenya, atau karena sesuatu
sebab holotipe itu hilang atau binasa, dapat ditentukan penggantinya yang
disebut lektotipe atau neotipe.
Seksi III dalam bab ini yang
terdiri atas 1 pasal, yaitu pasal 11 memuat masalah “prioritas” dan “nama yang
benar” yang pada dasrnya tidak berbeda dengan bunyi Asas IV, dengan ditambah
bahwa: nama yang benar untuk marga atau genus adalah nama tertua yang sah yang
diberikan untuk tingkat takson itu kecuali bila ada pembatasan prioritas karena
adanya nama-nama yang dilestarikan.
Nama yang benar
untuk setiap jenis atau takson di bawahnya adalah kombinasi sebutan (epitheton)
dalam nama sah yang tertua yang diberikan kepada takson tadi, dengan nama marga
atau nama jenis yang membawahinya, kecuali bila kombinasi itu menjadi tidak
berlaku karena adanya pembatasan asas prioritas, atau sebab lain yang
menyebabkan harus digunakannya kombinasi yang berbeda.
Seksi IV yang terdiri atas 3
pasal (pasal 13-15) berjudul “pembatasan asas prioritas” berisi antara lain
ketentuan-ketentuan, bahwa:
Nama-nama tumbuhan dari berbagai
kategori diperlakukan seakan-akan dipublikasikan mulai dari tanggal-tanggal
seperti di bawah ini.
Bagi tumbuhan yang sekarang masih
hidup:
a. 1 Mei 1753 untuk
Spermatophyta dan Pteridophyta
b. 1 Januari 1801 untuk Musci
dan Sphagnaceae
c. 1 Mei 1753 untuk Sphagnaceae
dan Hepaticae
d. 1 Mei 1753 untuk Fungi dan
Fungi pembentuk Lichenes
e. 31 Desember 1801 untuk jamur
bangsa Uredinales, Ustilaginales dan Gasteromycetes yang dipakai oleh Persoon
f. 1 Januari 1821 untuk Fungi
Caeteri, selain Myxomycetes dan jamur pembentuk Lichenes
g. 1 Mei 1753 untuk Algae
h. 1 Januari 1892 untuk
Nostocaceae Homocysteae
i. 1 Januari 1886 untuk
Nostocaceae Heterocysteae
j. 1 Januari 1848 untuk
Desmidiaceae
k. 1 Januari 1900 untuk
Oedogoniaceae
Bagi tumbuhan yang telah
bersifat fosil, 31 Desember 1820 untuk semua golongan.
Tatanama takson sesuai
dengan tingkatnya
Nama-nama ilmiah untuk takson
tingkat mana pun lazin ditulis dengan menggunakan huruf besar (capital) untuk
huruf pertama setiap nama. Bab III ini terdiri atas 13 pasal yang dikelompokkan
ke dalam 6 seksi.
Seksi I dalam bab ini terdiri
atas Pasal 16 dan 17 diberi judul “nama-nama takson di atas tingkat suku” dan
di dalamnya terdapat butir-butir penting sebagai berikut:
1. Bahwa untuk takson di atas
tingkat suku tidak diterapkan metode tipe, dan bahwa asas prioritas tidak
berlaku baginya.
2. Bahwa nama-nama takson di
atas tingkat suku automatis dapat disebut mempunyai tipe tatanama bila
nama-namanya didasarkan atas nama suatu marga yang tergolong di dalamnya,
ditambah dengan akhiran yang sesuai untuk takson itu.
Namun demikian,
bagi kelompok ini ada beberapa saran yang menyangkut pemberian namanya yang
pantas untuk mendapatkan perhatian, adalah:
a. Untuk nama-nama divisi
seyogyanya digunakan satu kata majemuk berbentuk jamak yang diambilkan dari
cirri khas yang berlaku untuk semua warga divisi dengan ditambah akhiran
–phyta, kecuali untuk jamur yang disarankan untuk diberi akhiran –mycota.
b. Untuk nama anak divisi
melalui cara yang sama dengan diberi akhiran –phytina dan untuk golongan jamur
dengan akhiran –mycotina.
c. Untuk nama-nama kelas juga
dengan cara yang sama, namun disarankan untuk menggunakan akhiran –phyceae bagi
Algae, -mycetes bagi Fungi, dan –opsida bagi Cormophyta.
d. Untuk anak kelas pun
demikian, akhirannya saja yang berbeda-beda, yaitu –phycidae untuk Algae,
-mycetidae untuk Fungi, dan –idae untuk Cormophyta.
Seksi kedua Bab III yang memuat
dua pasal (pasal 18 dan 19) membahas masalah “nama-nama suku, anak suku,
rumpun, dan anak rumpun”. Nama-nama suku merupakan satu kata sifat yang
diperlakukan sebagai kata benda yang berbentuk jamak, biasanya diambil dari
nama marga yang dipilih sebagai tipe tatanamanya ditambah dengan akhiran
–aceae, seperti misalnya: Malvaceae (dari Malva+aceae).
Seksi III yang terdiri atas
Pasal-pasal 20-22 membahas “nama-nama marga dan takson-takson di bawahnya.”
Terdiri atas 3 pasal dengan butir-butir yang penting sebagai berikut:
1. Nama marga merupakan kata
benda berbentuk mufrad, atau kata lain yang diperlakukan sebagai kata yang
bersifat demikian, bahkan dapat dibentuk dengan cara mana suka.
2. Nama marga tidak dibenarkan
berupa istilah yang lazim digunakan dalam morfologi tumbuha, misalnya Radicula
atau Tuber (yang masing-masing berarti akar lembaga dan umbi), kecuali bila
pemberian nama itu telah terjadi sebelum 1 Januari 1912, dan pada waktu nama
itu dipublikasikan dilengkapi pula dengan nama jenis yang disusun sesuai dengan
system biner menurut Linnaeus.
3. Nama marga tidak boleh
terdiri atas dua kata, atau kedua kata itu harus disatukan dengan tanda
penghubung, misalnya Uva-ursi.
4. Kata-kata yang tidak dimaksud
sebagai nama marga tidak dapat dianggap sebagai nama marga, seperti kata
Anonymos.
Dalam
pembentukan nama-nama marga ada sejumlah saran yang dimohonkan perhatian, dan
sedapat mungkin tidak dilanggar, antara lain:
a. Agar sedapat mungkin
menggunakan bentuk Latin
b. Menghindarkan penggunaan kata-kata
yang tidak mudah disesuaikan dengan bahasa Latin
c. Tidak menggunakan kata yang
panjang dan sukar dilafalkan dalam bahasa Latin
d. Tidak menggunakan kata-kata
yang merupakan gabungan kata dari bahasa yang berlainan
e. Bila mungkin, dengan pemberian
akhiran tertentu menunjukkan kekerabatan atau anlogi suatu marga dengan marga
lain
f. Menghindarkan penggunaan kata
sifat sebagai kata benda
g. Tidak menggunakan kata yang
dijabarkan dari sebutan jenis yang tergolong dalam marga itu
h. Tidak menggunakan nama orang
yang tidak ada kaitannya dengan dunia ilmu tumbuhan
i. Menggunakan sebagai nama
marga potongan-potongan dari dua nama marga lain.
Seksi IV Bab III “nama-nama
jenis” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu Pasal 23, yang berisi
ketentuan-ketentuan dan saran-saran tentang nama jenis, memuat butir-butir
penting berikut:
1. Nama jenis adalah suatu
kombinasi biner atau binomial yang terdiri atas nama marga disusul dengan
sebutan jenis, yang dalam penulisannya hanya huruf pertamanya saja yang ditulis
dengan huruf besar, bagian lainnya termasuk sebutan jenisnya, semua ditulis
dengan huruf kecil.
2. Sebutan jenis dapat diambil
dari sumber yang mana pun, bahkan dapat dibentuk secara arbitrar.
3. Lambang yang merupakan bagian
sebutan jenis harus ditranskripsikan, jadi nama Scandix pecten o L. harus
ditulis Scandix pecten-veneris L., Veronica anagallis L. harus ditulis Veronica
anagallis aquatica L.
4. Sebutan jenis tidak boleh
terdiri atas kata yang merupakan ulangan yang sama atau hampir sama nama marga,
dengan atau tanpa ditambah lambing yang telah ditranskripsikan.
5. Sebutan jenis yang merupakan
kata sifat, harus diberi bentuk yang menurut tata bahasa sesuai dengan jenis
kelamin nama marganya, misalnya: Aspergilllus niger, Sambucus nigra, Piper
nigrum, Crocus sativus, Oryza sativa, Triticum sativum. Aspergillus dan Crocus
berjenis kelamin jantan, Sambucus dan Oryza betina, sedangkan Piper dan
Triticum banci.
6. Ada beberapa kata yang
ditempatkan di belakang nama marga namun kata itu tidak dianggap sebagai
sebutan jenis, karena kata-kata itu memang tidak dimaksud sebagai sebutan
jenis, melainkan untuk menunjukkan sesuatu hal/sifat mengenai tumbuhan yang
dimaksud. Atriplex “nova”, yang di sini kata “nova” hanya untuk menunjukkan
bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah suatu jenis baru (nova) dalam marga
Atriplex, yang belum ada namanya.
7. Angka: dalam huruf yang
menyatakan nomor urut, misalnya Boletus vicessimus sextus, Agaricus octogesimus
nonus. Kata sextus (=keenam) dan nonus (kesembilan) di sini dimaksud untuk
menunjukkan jenis yang ke-6 dan ke-9 dalam urutan dalam marga masing-masing,
jadi tidak merupakan bagian sebutan jenis.
8. Kata-kata yang biasanya
menunjukkan suatu sifat, yang termuat sebagai sebutan jenis, namun belum secara
konsisten digunakan sesuai dengan system ganda menurut Linnaeus. Dalam nama
Abutilon flore flvo, kata “flore flavo” bukan suatu sebutan jenis, melainkan
suatu deskripsi yang menunjukkan salah satu ciri tumbuhan yang bersangkutan,
ialah bahwa tumbuhan iitu mempunyai bunga yang berwarna kuning (flore flavo=
berbunga kuning).
9. Formula yang menunjukkan nama
hibrida. Nama-nama hibrida yang juga tampak bersifat ganda, bagian belakang
kombinasi nama hibrida itu tidak dapat dikatakan sebagai sebutan jenis, namun
merupakan sebagian formula yang merupakan nama hibrida, yang biasanya dicirikan
dengan adanya suatu tanda x (tanda perkalian=multiplication sign)
Seksi V Bab III yang terdiri
atas pasal 24, 25, dan 26 memuat ketentuan-ketentuan untuk “nama-nama takson di
bawah tingkat jenis” (takson infraspesifik). Ketentuan-ketentuan yang penting
yang berkaitan dengan pemberian nama-nama takson di bawah tingkat jenis (anak
jenis, varitas, anak varitas, forma dan anak forma), antara lain ialah:
1. Nama takson di bawah tingkat
jenis terdiri atas nama jenis dan suatu sebutan yang dihubungkan dengan istilah
untuk takson di bawah tingkat jenis yang dimaksud, sehingga dengan demikian
nama itu sekurang-kurangnya terdiri atas empat kata, yaitu dua kata untuk nama
jenis, satu kata untuk sebutan takson di bawah tingkat jenis, dan satu kata
yang merupakan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis (biasanya dalam
bentuk singkatan) yang dimaksud. Contoh: Pedilanthus tithymaloides subspecies
retusus; Hibiscus sabdariffa varietas alba; Trifolium stellatum forma nanum.
2. Sebutan untuk takson di bawah
tingkat jenis, seperti halnya dengan sebutan jenis, harus mempunyai bentuk yang
dari segi tata bahasa disesuaikan dengan jenis kelamin nama marganya.
3. Kata-kata typcus, originalis,
orginarius, genuinus, verus, dst, yang berarti tipikal, asli, atau sungguh, dan
dimaksud untuk menunjukkan bahwa takson di bawah tingkat jenis itu memuat tipe
tatanama takson yang berada setingkat di atasnya, justru sebutan-sebutan itu
tidak dibenarkan untuk dipakai dan juga tidak dapat dipublikasikan.
4. Penggunaan kombinasi ganda
sebagai sebutan takson di bawah tingkat jenis tidak dibenarkan, dan bila hal
itu terjadi penulisannya harus dibetulkan
5. Takson-takson di bawah
tingkat jenis yang tergolong dalam jenis yang berbeda, dapat mempunyai sebutan
yang sama dan takson di bawah tingkat jenis dapat mempunyai sebutan yang sama
dengan sebutan yang digunakan untuk jenis lain di luar jenis yang membawahi
takson tadi.
Seksi VI yang merupakan seksi
terakhir dalam Bab III ini, berjudul “nama tumbuhan budidaya”, yang hanya
memuat satu pasal (Pasal 28) dan berisi ketentuan-ketentuann berikut:
1. Tumbuhan dari keadaan liar
yang kemungkinan dibudidayakan , mempertahankan nama seperti yang diberikan
kepada takson itu ketika masih tumbuh di alam, misalnya untuk tebu namanya
tetap Saccharum officinarum.
2. Hibrida atau bastar, baik
yang putative maupun yamg merupakan hasil pembastaran dengan sengaja, diberi
nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam lampiran KITT tentang
nama hibrida, yang seluruhnya terdiri atas 12 pasal, yang dicirikan dengan
tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan “Noto-“, misalnya: x
Agropogon (bastar antar marga Agrostis x Polypogon).
3. Unit-unit hasil kegiatan
dalam pertanian yang tercakup dalam istilah pemuliaan, lazimnya disebut sebagai
kultivar, mempunyai tatanama yang diatur dalam Kode Internasional Tatanama
Tumbuhan Budidaya.
Bab IV Publikasi mangkus
(efektif) dan publikasi sahih (berlaku)
Bab ini dibagi dalam 4 seksi
yang seluruhnya mencakup 22 pasal (Pasal 29 sampai dengan 50). Adapun
ketentuan-ketentuan yang perlu mendapat perhatian kita antara lain:
Seksi I tentang “kondisi dan
tanggal publikasi yang mangkus”, yang terdiri atas tiga pasal (Pasal 29 sampai
dengan 31):
1. Di bawah KITT, publikasi
hanya dianggap mangkus apabila merupakan distribusi barang cetakan (melalui
penjualan, tukar menukar, atau pemberian) kepada khalayak umum atau
sekurang-kurangnya kepada lembaga-lembaga ilmu tumbuhan dengan perpustakaan
yang terbuka bagi ilmuwan tumbuhan pada umumya.
2. Pemasaran barang cetakan yang
tidak ada untuk dijual tidak merupakan publikasi yang mangkus.
3. Publikasi tulisan tangan yang
tidak dapat dihapus merupakan publikasi yang mangkus, bila hal itu terjadi
sebelum 1 Januari 1953.
4. Publikasi nama-nama dalam
catalog dagang pada 1 Januari 1953 dan setelah itu, demikian pula publikasi
nama-nama dalam daftar tukar menukar biji pada tanggal 1 Januari 1973 dan
sesudahnya, merupakan publikasi yang tidak dianggap mangkus.
5. Tanggal publikasi yang
mangkus adalah tanggal mulainya barang cetakan itu tersedia bagi masyarakat.
Bila tidak ada bukti lain, tanggal yang disebut pada barang cetakan itu harus
diterima sebagai tanggal publikasinya yang benar.
6. Bila makalah-makalah lepas
dari suatu berkala atau karya lain yang ditawarkan untuk dijual terbit lebih
dulu, tanggal pada separat itu dianggap sebagai tanggal publikasinya yang
mangkus, kecuali bila kemudian terbukti, bahwa tanggal tadi keliru.
7. Mulai tanggal 1 Januari 1953
dan setelah itu distribusi barang cetakan yang menyertai bahan kering tidak
dapat dianggap sebagai publikasi yang mangkus.
Seksi II, “kondisi dan tanggal
publikasi nama yang sahih”
Seksi II Bab IV ini meliputi
sampai 15 pasal (Pasal 32-46) yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai
persyaratan dan aspek publikasi yang dapat dinyatakan sebagai publikasi yang
sahih (valid). Di antara butir-butir yang penting yang mempunyai kaitan erat
dengan masalh publikasi yang sahih itu adalah:
1. Agar dapat terpublikasikan
dengan sahih, nama suatu takson (kecuali bila berupa autonima) harus memenuhi
ketentuan-ketentuan berikut:
a. Telah dipublikasikan dengan
cara yang mangkus pada tanggal mulai berlakunya tatanama yang diakui bagi
kelompok yag bersangkutan, atau dipublikasikan setelah tanggal tersebut.
b. Mempunyai bentuk yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk tingkat takson masing-masing.
c. Disertai candra atau
diagnosis yang pernah dipublikasikan secara mangkus sebelumnya.
d. Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan khusus seperti termuat dalam Pasal-pasal 33-45.
2. Nama yang dipublikasikan
dengan sahih melalui rujukan dengan deskripsi atau diagnosis yang
dipublikasikan sebelumnya, mempunyai sebagai tipe tatanamanya suatu unsure yang
dipilih sesuai dengan bunyi candra atau diagnosis, yang menyebabkan nama tadi
dapat dipublikasikan dengan sahih.
3. Diagnosis suatu takson
merupakan suatu candra yang pendek yang menurut penulisnya dapat digunakan
untuk membedakan takson itu dari takson yang lain, yang berarti dapat digunakan
untuk mengidentifikasikan takson tadi tanpa kemungkinan kekeliruan dengan
takson lain.
4. Rujukan tidak langsung
merupakan petunjuk yang jelas, melalui sitasi penulisnya atau dengan cara lain,
bahwa untuk kesahihan publikasi suatu nama, dapat digunakan candra atau
diagnosis yang pernah diterbitkan sebelumnya.
5. Nama yang dipublikasikan
dengan bentuk bahasa Latin yang salah, tetapi selain itu telah sesuai dengan
KITT, dianggap telah dipublikasikan dengan sahih, namun kesalahnnya harus
diperbaiki tanpa mengubah nama pencipta dan tanggal publikasinya.
6. Autonima dianggap sebagai
nama yang dipublikasikan dengan sahih, sejak diterbitkannya karya yang memuat
nama itu untuk pertama kali.
Seksi III Sitasi nama pencipta
(author’s name) dan pustaka demi ketepatan.
Dalam karya-karya ilmiah,
nama-nama takson tingkat suku ke bawah seringkali diikuti dengan satu nama atau
lebih yang lazimnya ditulis dalam bentuk singkatan. Pemberi nama atau pencipta
nama itu dalam pustaka berbahasa asing disebut “author” (Inggris), “auteur”
(Belanda), “autor” (Jerman), yang kata-kata itu sebenarnya berarti penulis.
Contoh nama takson dengan penciptanya adalh seperti di bawah ini:
1. Rosaceae Juss.
2. Rosa L.
3. Rosa gallica L.
4. Adiantum lunulatum Burm. F.
Pada contoh-contoh di atas
Rosaceae merupakan nama suku yang diciptakan oleh de Jussieu (seorang ahli
taksonomi Prancis), yang di situ nama de Jussieu disingkat Juss.
Pasal 46 KITT menyatakan bahwa
pencantuman nama pencipta bertujuan agar:
1. Nama ilmiah disebut dengan
lebih akurat dan lebih lengkap.
2. Tersedia suatu sarana untuk
melakukan verivikasi mengenai tanggal publikasi nama dan memungkinkan seseorang
yang berminat terhadap takson itu membaca candra atau diagnosis orisinal yang
dibuat oleh pencipta nama tadi.
Seksi IV Bab IV Saran-saran umum
mengenai sitasi
Dalam hubungannya dengan masalah
sitasi nama-nama dalam seksi ini terdapat beberapa saran atau anjuran, antara
lain:
1. Sitasi nama yang
dipublikasikan sebagai sinonima, kata “sebagai sinonima” atau “pro syn.” harus
ditambahkan, dan bila seorang penulis mempublikasikan sebagai sinonima nama
dari suatu naskah tulisan lain orang, dalam sitasi itu harus digunakan kata
“ex” untuk menghubungkan nama orang yang dikutip dan nama pengutipnya.
2. Dalam mengutip suatu “nama
telanjang”, agar ditambahkan kata-kata “nomen nodum” atau disingkat “nom. nud”.
3. Sitasi homonima yang lebih
muda harus diikuti dengan nama pencipta homonima yang lebih tua yang didahului
dengan kata “non”.
4. Nama yang merupakan hasil
identifikasi yang keliru, seyogyanya tidak dimasukkan sebagai sinonima tetapi
ditambahkan di belakangnya. Penggunaannya harus ditunjukkan dengan kata-kata
“auct. non” diikuti oleh nama penciptanya yang asli dan rujukan pustaka yang
memuat identifikasi yang salah tadi.
5. Bila nama marga atau nama
jenis diterima sebagai nama yang dilestarikan di belakang nama-nama itu harus
ditambahkan kata-kata “nomen conservandum” yang biasnya disingkat dengan “nom.
cons.”
Bab V Retensi (pelestarian),
pemilihan, dan penolakan nama serta sebutan
Seksi I. pelestarian nama atau
sebutan pada takson yang diubah atau dipecah.
Dalam KITT ada tiga pasal
(51-53) yang memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan masalah-masalah
seperti tercermin dari judul Bab IV dan Seksi I ini, yang berbunyi:
1. Perubahan cirri-ciri
diagnostic atau sirkumskripsi suatu takson tidak menjamin terjadinya perubahan
namanya, kecuali bila hal itu dituntut sebagai akibat adanya:
a. Pemindahan ke takson lain
b. Penggabungan dengan takson
lain yang setinkat
c. Perubahan tingkt takson itu
2. Bila suatu marga dibagi
menjadi dua marga atau lebih, nama marga yang lama (bila nama marga itu
merupakan nama yang benar harus dipertahankan untuk salah satu marga baru yang
merupakan pecahannya), yaitu untuk tetap mencakup tipe tatanama marga yang
asli, sedang untuk pecahan yang lain harus ditemukan tipe tatanama baru yang
lain bagi masing-masing.
3. Bila suatu jenis dipecah
menjadi dua jenis atau lebih, sebutan jenisnya harus dipertahankan bagi pecahan
yang sebagai tipe tatanamnya tetap mempertahankan tipe tatanama seberlumnya.
Seksi II Retensi sebutan jenis
atau takson lain di bawah tingkat marga pada pemindahan ke marga lain
(pasal-pasal 54-56)
Bila bagian suatu marga
dipindahkan ke marga lain atau ditempatkan di bawah nama lain untuk marga yang
sama tanpa perubahan tingkat, sebutan untuk nama yang benar sebelumnya harus
dipertahankan, kecuali bila terdapat perintang-perintang sebagai berikut:
1. Kombinasi nama yang terjadi
merupakan suatu nama yang sebelumnya telah dipublikasikan dengan sahih untuk
suatu bagian marga yang didasrkan pada tipe tatanama yang lain.
2. Terdapat sebutan untuk nama
sah yang lebih tua
3. Sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 21 dan 22 harus digunakan sebutan yang lain.
Seksi III bab IV “pemilihan nama
pada penggabungan takson yang setingkat”
Seksi yang hanya memuat atas dua
pasal ini (Pasal 57 dan 58), memuat ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa:
1. Bila dua takson atau lebih
yang setingkat digabungkan, nama yang harus dipakai untuk takson hasil
penggabungan itu adalah nama tertua yang sah dari nama-nama takson yang
digabungkan itu.
2. Untuk hasil penggabungan dua
takson atau lebih (yang merupakn takson di bawah tingkat marga) nama yang harus
digunakan adalah nama dengan sebutan yang tertua dan sah.
Seksi V Pemilihan nama pada
perubahan tingkat takson
Seksi ini terdiri atas dua pasal
(60-61), dan antara lain memuat butir-butir berikut:
1. Dalam keadaan yang
bagaimanapun prioritas suatu nama tidak dapat dipersoalkan di luar tingkatnya.
2. Bila suatu takson tingkat
suku atau di bawahnya diubah ke tingkat pada tingkat yang baru itu, dan bila
hal itu tidak ada, nama sebelumnya dapat dipertahankan dengan mengganti
akhirannya agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk nama takson di
tingkatnya yang baru itu.
Seksi VI Penolakan nama dan
sebutan
Seksi ini terdiri atas sejumlah
pasal (Pasal 62-72), dan di antara butir-butir yang penting adalah:
1. Sebutan atau nama yang sah
tidak dapat ditolak hanya karena nama atau sebutan itu dianggap tidak tepat
atau tidak dapat diterima, atau karena ada nama atau sebutan lain yang lebih
disukai atau lebih dikenal.
2. Nama-nama jenis atau suatu
bagian di bawah marga yang ditempatkan di bawah suatu marga, yang namnya
merupakan homonima lebih muda yang dilestarikan, dan yang sebelumnya
ditempatkan pada marga dengan nama yang merupakn homonima yang ditolak, nama
marga yang merupakan homonima yang dilestarikan adalah nama yang sah tanpa
perubahan nama penciptanya, selama di bawah ketentuan itu tidak ada lain
penghalang.
3. Suatu nama merupakan nama
yang tidak sah dan oleh karena iru harus ditolak, bila nama itu pada waktu
dipublikasikan merupakan nama yang berlebihan.
4. Suatu homonima, yaitu nama
dengan ejaan yang persis sama dengan nama yang telah digunakan untuk takson
lain dengan tipe ttanama yang berbeda, merupakan nama yang tidak sah dan harus
ditolak, kecuali bila homonima yang lebih muda itu merupakan nama yang
dilestarikan atau diakui karena misalnya telah lama biasa dipakai atau dikenal.
5. Dua nama marga atau lebih,
demikian pula nama jenis atau takson di bawah tingkat jenis, dengan tipe
tatanama yang berbeda, tetapi memiliki nama yang sangat mirip sehingga besar
kemungkinannya untuk terjadinya kekeliruan.
6. Nama-nama bagian suatu marga
yang sama atau dua takson di bawah satu jenis yang tergolong dalam jenis yang sama,
meskipun bagian-bagian itu terholong dalam takson yang berbeda tingkatnya,
diperlakukan sebagai homonima bila nama-nama tadi mempunyai sebutan yang sama
dan tidak didasrkan pada tipe tatanama yang sama.
7. Bila dua homonima atau lebih
mempunyai prioritas yang sama, homonima pertama yang diterima oleh seorang
penulis dan sekaligus menolak homonima yang lain, diperlakukan sebagai homonima
dengan prioritas paling tinggi dan harus dipertahankan.
8. Pertimbangan mengenai
homonima tidak berlaku untuk nama takson yang tidak diperlakuakn sebagai
tumbuhan.
9. Nama suatu bagian marga
merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak bila nama itu dipublikasikan
bertentangan dengan pasapl-pasal yang menyatakan bahwa pwnulis tidak
menggunakan sebutan yang tersedia pada nama yang sah yang tertua untuk takson
yang bersangkutan.
10. Nama suatu jenis tidak dapat
dinyatakan tidak sah hanya karena sebutannya pernah digunakan dalam kombinasi
nama yang tidak sah.
11. Suatu nama dapat dianggap
sebagai nama yang ditolak, bila nama itu secara luas dan terus-menerus
digunakan untuk takson yang tidak mencakup tipe tatanamanya.
12. Nama-nama yang ditolak harus
diganti dengan nama yang dalam tingkat takson yang bersangkutan mempunyai
prioritas.
Bab VI Penulisan (ejaan)
nama-nama dan sebutan yang benar dan kelamin (gender) nama-nama marga
Seksi I Penulisan (ejaan) nama
dan sebutan yang benar
Seksi I bab VI terdiri atas tiga
pasal (73-75) memuat hal yang sesuai dengan judulnya menyangkut penulisan
nama-nama serta sebutan-sebutan dengan cara yang tepat.
1. Ejaan asli suatu nama atau
sebutan harus dipertahankan, kecuali bila terdapat salah ketik/cetak atau salah
eja.
2. Kebebasan untuk membetulkan
penulisan nama yang salah harus dilakukan dengan hati-hati, lebih-lebih bila
perbaikan itu akan berpengaruh terhadap suku kata pertama, dan lebih dari itu
mempengaruhi huruf pertama suatu nama.
3. Bila suatu nama atau sebutan
dipublikasikan dalam suatu karya yang huruf u dengan v, i dengan j, digunakan
secara bergantian, seyogyanya dipilih yang menurut kelaziman dalam praktek
lebih banyak digunakan.
4. Dalam penulisan nama-nama
ilmiah tidak digunakan tanda-tanda diakritik.
5. Penggunaan bentuk kata
majemuk yang salah dalam suatu sebutan diperlakukan sebagai salah ejaan yang
harus dibetulkan.
6. Penggunaan tanda hubung dalam
suatu sebutan yang merupakan kata majemuk dengan awalan yang tidak dapat
berdiri sendiri diperlakukan sebagai kesalahan ejaan yang harus dibetulkan.
7. Sebutan jenis dan takson di
bawah tingkat jenis yang terdiri atas dua kata yang dapat berdiri sendiri harus
ditulis dengan tanda penghubung atau digabung menjadi satu kata.
Seksi II Bab VI Jenis kelamin
(gender) nama-nama marga
Kata-kata benda menurut tata
bahasa Latin mempunyai satu di antara tiga kemungkinan jenis kelamin, yaitu:
jantan (masculinum), betina (feminum), banci (neutrum). Karena nama marga
merupakan kata benda, maka nama-nama marga pun mempunyai jenis kelamin, yang
sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin.
Nama-nama Hibrida
Khusus untuk tumbuhan yang
merupakan hibrida ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanamanya terdapat
sebagai salah satu Lampiran KITT yang dalam KITT hasil Muktamar Internasional
ke-XIII di Sidney memuat 12 pasal dengan kode H.
1. Pada nama hibrida, sifat
hibrida dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan
“notho”, yang berasal dari bahasa Yunani “nothos”=hibrida atau bastar.
2. Hibrida antara dua takson
yang diketahui namanya dapat ditunjukkan dengan menempatkan tanda perkaian di
antara kedua nama takson yang menghasilkan hibrida itu.
3. Hibrida yang berasal dari dua
takson atau lebih dapat diberi nama tersendiri (bukan formula). Sifatnya
sebagai hibrida juga dicirikan dengan penempatan tanda perkalian (x).